UPAYA MENGATASI RENDAHNYA MINAT BACA PADA SISWA SD
Oleh
Dewi
Sri Rahayu
NIM
1104863
Masalah minat baca sampai saat ini masih menjadi topik yang
cukup aktual. Terbukti hal ini sering dijadikan topik pertemuan ilmiah dan
diskusi oleh para pemerhati dan para pakar yang peduli terhadap perkembangan
minat baca di Indonesia. Namun hasil dari pertemuan-pertemuan ilmiah tersebut
belum memberikan suatu rekomendasi yang tepat bagi perkembangan yang signifikan
terhadap minat baca masyarakat. Permasalahan yang dirasakan oleh bangsa
Indonesia sampai saat ini adalah adanya data berdasarkan temuan penelitian dan
pengamatan yang menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia relatif masih
sangat rendah. Ada beberapa indikator yang menunjukkan masih rendahnya minat
baca masyarakat Indonesia. Pertama, dari berbagai sumber informasi
yang dapat dipercaya, menunjukkan ada indikasi bahwa minat baca
masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari data yang
dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 yang menunjukkan bahwa
masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama
mendapatkan informasi. Orang lebih banyak tertarik dan memilih untuk menonton
TV (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%).
Kedua, fakta tersebut di atas juga didukung oleh berbagai penelitian
yang telah dilakukan di Indonesia. Internasional Education Achiecment (IEA)
melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada pada urutan 38
dari 39 negara peserta studi. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa
Indonesia menempatkan urutan ke-38 dari 39 negara. Angka-angka itu
menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya
anak-anak Sekolah Dasar. Ketiga, hasil studi dari Vincent Greannary
yang dikutip oleh World Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education
in Indonesia From Cricis to Recovery“ tahun 1998. Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita
hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina
yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta Singapura
dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang memperoleh nilai 75.5. Dengan demikian tampak jelas bahwa
kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara
berkembang lainnya. Lalu apa penyebab rendahnya minat baca
khususnya pada siswa? (1) masih rendahnya kemahiran membaca
siswa di sekolah. (2) banyaknya jenis hiburan, permainan (game) dan
tayangan TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku.
Berdasarkan temuan suatu penelitian, menunjukkan bahwa waktu bermain anak-anak
Indonesia banyak dihabiskan untuk melihat acara-acara di TV. (3)
banyaknya tempat hiburan yang menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat
karaoke, night club, mall, supermarket, play station.
Di negeri kita, yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menonton
sinetron, membaca masih merupakan sesuatu yang eksklusif. Oleh karena itu,
tidak perlu heran jika pemandangan di mall lebih rame ketimbang di
perpustakaan. Acara musik lebih digandrungi dari pada acara diskusi, bedah buku
atau seminar. Jangan kaget, jika kawula muda di negeri kita lebih banyak
bercita-cita menjadi selebritis ketimbang bintang olimpiade sains. Kenyataan di
atas sungguh paradoks. Negeri yang tahun ini menginjak usia 62 tahun, masih
belum menampakkan kemajuan yang berarti. Peradaban yang ada, hanyalah peradaban
hedonis yang tercipta dari budaya massa (mass culture) dan budaya
populer (pop culture) yang lebih bersifat melayani dan mengambil
keuntungan berupa materi dari publik. (4) para
ibu, saudari-saudari kita senantiasa disibukkan berbagai kegiatan rumah tangga
sehingga tiap hari waktu luang sangat minim bahkan hampir tidak ada untuk
membantu anak membaca buku. (5) sarana untuk memperoleh bacaan, seperti
perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka. (6) harga buku yang relatif masih mahal yang tidak sebanding
dengan daya beli masyarakat. Oleh karena dengan mahalnya harga buku yang tidak
terjangkau oleh daya beli masyarakat, maka sedikit sekali masyarakat yang
memiliki koleksi buku di rumahnya. (7) belum adanya lembaga atau institusi yang
secara formal khusus menangani minat baca. Sehingga program menumbuhkan minat
baca hanya dilakukan secara sporadis, oleh LSM, organisasi pencinta buku,
organisasi penerbit, dsbnya, yang tidak terkoordinasi walaupun potensi sumber
daya manusia ada tetapi belum merupakan kekuatan dapat secara sinergis menjadi
instrumen yang efektif untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia.
(8) minimnya koleksi buku diperpustakaan serta
kondisi perpustakaan yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya
minat baca pengunjung yang memanfaatkan jasa perpustakaan. Dengan kondisi
kualitas buku pelajaran yang memprihatinkan, padatnya kurikulum, dan metode
pembelajaran yang menekankan hafalan materi justru 'membunuh' minat membaca.
Menurut Prof. Dr. Riris K. Toha Sarumpaet, Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia ini melihat, sekolah tidak memadai sebagai tempat
untuk menumbuhkan minat baca anak didik. Hal ini, menurut dia, tidak terlepas
dari kurikulum pendidikan. Kurikulum yang terlalu padat membuat siswa tidak
punya waktu untuk membaca. Riris mengemukakan bahwa siswa terlalu sibuk dengan
pelajaran yang harus diikuti tiap hari. Belum lagi harus mengerjakan PR. Rendahnya
budaya membaca ini juga dirasakan pada pelajar. Perpustakaan di sekolah yang
ada jarang dimanfaatkan secara optimal oleh siswa. Lantas upaya apa yang dapat
dilakukan, terutama pada dunia pendidikan? proses pembelajaran di sekolah harus
dapat mengarahkan kepada peserta didik untuk rajin membaca buku dengan
memanfaatkan literatur yang ada di perpustakaan atau sumber belajar
lainnya, menekan harga buku bacaan maupun buku pelajaran agar terjangkau
oleh daya beli masyarakat, buku bacaan dikemas dengan gambar-gambar yang
menarik, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya minat baca
anak-anak. Baik di rumah maupun di sekolah, menumbuhkan minat baca sejak dini,
meningkatkan frekuensi pameran buku di setiap kota/kabupaten, di rumah orang
tua memberikan contoh membaca untuk anak-anaknya dan memberikan perhatian serta
membimbing mereka berhasil dalam membaca. Demikian bahwa minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak
Sekolah Dasar relatif rendah. Sehingga wajar apabila Indeks Sumber Daya Manusia
bangsa Indonesia juga rendah oleh karena itu, minat baca perlu ditumbuhkan
sejak anak usia dini. Sejak mereka telah bisa membaca. Selain itu, pada
kenyataannya solusi terbaik dalam membuka jalan pikiran seorang siswa
agar mereka mempunyai wawasan yang luas adalah dengan cara membaca. Agar siswa
dapat membaca buku secara ajeg, maka kepada mereka perlu disediakan bahan
bacaan yang cukup koleksinya. Oleh karena itu, perpustakaan merupakan wacana
baca yang mampu menyediakan beragam buku baik fiksi nonfiksi, referensi, atau
nonbuku seperti majalah, koran, kaset serta alat peraga, wajib dimiliki setiap
sekolah. Hal ini juga tentunya harus atas dasar dukungan kita dan upaya oleh
pemerintah sehingga kriteria sarana tersebut dapat terpenuhi demi meningkatkan
kualitas pendidikan anak bangsa khususnya siswa Sekolah Dasar. Jadi,
budayakanlah kegiatan membaca demi menjadi pribadi yang kaya akan ilmu dan ikut
serta dalam mencerdaskan bangsa dan Negara. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat baik informasi dan
pengetahuan sehingga pembaca sedikit termotivasi untuk menanamkan minat baca.
Seperti kita ketahui, Buku adalah gudangnya ilmu oleh karena itu mari membaca!
Referensi
Bunyamin, A. 9 Juli 2007. Membangun Peradaban Buku.
(Diakses tanggal 28 Juli 2007).
Pikiran Rakyat. 2004. Pikiran
Baca di Indonesia Sangat Rendah. Pikiran Rakyat, Senin, 8 Maret 2004.
Jenjang Pendidikan Dasar, Rendahnya Minat Baca Siswa.
Jumat, 25 Juni 2004. (Republika Online,
www.republika.co.id,
diakses tanggal 14 Nopember 2007).